MPSI Tanggapi Megawati: Saatnya Berdamai dengan Kenyataan, Bukan Menyulut Dendam Sejarah

Sabtu 08-11-2025,14:32 WIB
Reporter : Mihardin
Editor : Mihardin

Jakarta, Disway.id - Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI), Noor Azhari mengomentari pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menolak usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto. Menurutnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu berdamai dengan kenyataan sejarah, bukan menjadikan dendam masa lalu sebagai warisan politik.

“Kalau sejarah hanya dipelihara untuk mencari siapa yang paling sakit hati, maka kita bukan sedang membaca masa lalu, tapi sedang menulis ulang luka dengan tinta kebencian,” ujar Noor Azhari di Jakarta, Sabtu (8/11/2025).

Negarawan Sejati Mampu Memisahkan Luka Pribadi dari Kepentingan Bangsa

Azhari menilai, pernyataan Megawati yang mengungkit kembali kesulitan pemakaman Bung Karno di masa pemerintahan Soeharto merupakan pengalaman pribadi yang layak dihargai. Namun, menurutnya, sikap seorang negarawan diuji ketika mampu memisahkan emosi pribadi dari kepentingan bangsa.

“Negarawan sejati berdamai dengan kenyataan, bukan dengan kenangan yang membelenggu. Kalau dendam dijadikan ukuran kebijakan, maka keadilan sejarah akan kehilangan pijakan,” ucapnya.

Ia menegaskan bahwa jasa Soeharto terhadap Indonesia tidak dapat dihapus hanya karena bayang-bayang luka masa lalu.

“Sejarah bukan cermin tunggal. Ia mozaik, tempat jasa dan dosa berdiri berdampingan. Kalau setiap kesalahan meniadakan pengabdian, mungkin tak satu pun tokoh layak disebut pahlawan,” katanya.

Bangsa Damai Tak Seharusnya Terjebak Luka Masa Lalu

Azhari menambahkan, Indonesia didirikan atas semangat persatuan dan perdamaian, bukan dendam politik atau konflik personal.

“Kita sering berteriak ‘Indonesia negara damai’, tapi diam-diam menikmati ketegangan masa lalu. Bukankah ironis jika yang menyerukan rekonsiliasi justru tersandera oleh ingatan yang tak mau sembuh?” ujarnya.

Ia pun mengingatkan para pemimpin partai politik agar menjadi teladan dalam mendidik publik tentang etika sejarah, bukan justru mempertahankan luka kolektif.

“Semua tokoh maupun secara institusi partai di negeri ini berteriak tentang perdamaian, tapi barangkali belum semua mau menanam benihnya di hati. Padahal perdamaian bukan slogan kongres, tapi keputusan batin,” pungkasnya.

Kategori :