Ridwan Monoarfa: Pernyataan Megawati soal Soeharto Tunjukkan Belum Damai dengan Masa Lalu

Ridwan Monoarfa: Pernyataan Megawati soal Soeharto Tunjukkan Belum Damai dengan Masa Lalu

Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. -Foto: Antara-

Jakarta, Disway.id - Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto, menunjukkan mantan presiden ini belum sepenuhnya berdamai dengan masa lalunya. Khususnya, terkait hubungan politik antara keluarganya dengan Soeharto.

Menurut Anggota DPRD Gorontalo dari Fraksi NasDem Ridwan Monoarfa, pernyataan Megawati tersebut bukan hanya bernuansa emosional. Tetapi juga, sambungnya, mencerminkan adanya sikap politik yang masih menyimpan rasa dendam terhadap sejarah masa lalu.

“Pernyataan Ibu Megawati memberi pesan bahwa beliau belum berdamai dengan masa lalunya, khususnya hubungannya dengan Pak Harto. Yang lebih jauh dari itu, justru mengesankan masih ada sikap politik yang didorong oleh rasa dendam,” ujar Ridwan kepada wartawan, Sabtu, 8 November 2025.

Ridwan menekankan, semangat rekonsiliasi nasional yang saat ini sedang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto seharusnya mendapatkan dukungan dari seluruh elemen bangsa, terutama tokoh-tokoh yang memiliki peran besar dalam sejarah politik Indonesia.

Namun, ia menilai sikap Megawati justru dapat menjadi hambatan bagi terwujudnya gagasan besar tersebut.

“Rekonsiliasi nasional itu tumbuh dari kesadaran dan partisipasi aktif dari mereka yang disebut korban kebijakan politik tertentu. Jadi, sikap Bu Megawati boleh jadi bukan hanya menghambat, tapi berpotensi menggagalkan gagasan besar rekonsiliasi nasional yang digagas Presiden Prabowo,” tegasnya.

Lebih lanjut, Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Provinsi Gorontalo ini mengajak publik untuk belajar dari tokoh-tokoh bangsa yang meskipun berbeda pandangan politik, tetap mengedepankan nilai persatuan dan kemanusiaan.

“Terkait keteladanan tokoh yang berseberangan politik tanpa kehilangan sikap kritis, kita mesti meneladani Ali Sadikin, Gus Dur, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka menyadari bahwa masa lalu adalah tesis dari dialektika masa depan, sebuah anti-tesis yang harus diwariskan kepada generasi muda dengan mengambil nilai terbaik dan menguburkan yang buruk sebagai sintesis sejarah,” jelasnya.

Ridwan juga menegaskan bahwa kemampuan berdamai dengan sejarah tidak berarti melupakan masa lalu, tetapi menjadikannya bahan refleksi untuk memperkuat kesadaran kebangsaan.

Dalam pandangan Ridwan, jasa besar Presiden Soeharto terhadap bangsa Indonesia tidak berhenti ketika ia tidak lagi berkuasa, bahkan terus memberikan pengaruh positif hingga setelah wafatnya.

“Jasa besar Soeharto, sebagaimana juga Bung Karno, tidak berhenti ketika mereka tidak berkuasa lagi, apalagi setelah wafat. Dalam konteks ini saya ingin menegaskan bahwa warisan Soeharto patut dijadikan inspirasi bagi generasi penerus,” tuturnya.

Ia menyebut ada tiga warisan penting dari kepemimpinan Soeharto yang masih terasa hingga kini:

1. Daya beli masyarakat yang kuat (purchasing power), yang menjadi fondasi berlanjutnya pertumbuhan ekonomi nasional.

2. Institusi birokrasi dan TNI yang solid, sebagai penopang stabilitas dan keutuhan NKRI.

Sumber: