Azizil Fikri: Saatnya Berdamai dengan Masa Lalu, Hormati Semua Pemimpin Bangsa
Ketua Umum Ikatan Keluarga Pesisir Selatan (IKPS) Kota Lubuklinggau sekaligus akademisi perguruan tinggi swasta Azizil Fikri.-Foto: Istimewa-
Jakarta, Disway.id - Ketua Umum Ikatan Keluarga Pesisir Selatan (IKPS) Kota Lubuklinggau sekaligus akademisi perguruan tinggi swasta Azizil Fikri, menyampaikan pandangannya terkait polemik pernyataan Megawati Soekarnoputri yang menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Menurut Azizil, pernyataan Megawati dalam Seminar Internasional Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia-Afrika di Blitar, Jawa Timur, pada 1 November 2025, memang berangkat dari pengalaman emosional keluarga Bung Karno di masa pemerintahan Orde Baru. Namun, ia menilai bangsa Indonesia sepatutnya menyikapi hal tersebut dengan kedewasaan dan kebijaksanaan sejarah.
“Kami memahami bahwa sejarah bangsa ini menyimpan luka dan kompleksitas emosional. Namun sudah sepatutnya kita semua menunjukkan empati tanpa harus membuka kembali luka lama,” ujar Azizil Fikri dalam keterangannya, Sabtu, 8 November 2025.
Azizil menilai, ruang publik semestinya menjadi wadah untuk memperkuat pemahaman sejarah, bukan memperuncing perbedaan emosional. Ia menekankan bahwa semua keluarga besar tokoh bangsa, baik dari masa kepemimpinan Soekarno maupun Soeharto, patut mendapatkan apresiasi atas pengabdian mereka kepada negara.
“Ruang publik seharusnya menjadi tempat untuk memperkuat pemahaman sejarah, bukan memperuncing perbedaan emosional. Isu yang menyentuh perasaan pribadi para keluarga tokoh bangsa perlu dibicarakan dengan kehati-hatian,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penilaian terhadap jasa seorang pemimpin harus dilakukan secara menyeluruh dan objektif, tanpa dikotomi antarera.
“Indonesia berdiri di atas fondasi perjuangan kolektif. Tak dapat dimungkiri, setiap pemimpin memiliki jasa dan kontribusi yang nyata bagi bangsa, termasuk Pak Harto yang memimpin selama puluhan tahun dan menorehkan capaian besar dalam bidang pembangunan dan stabilitas nasional,” ucapnya.
Azizil menegaskan bahwa kedewasaan bangsa tercermin dari kemampuannya berdamai dengan masa lalu. Ia mengingatkan agar semangat rekonsiliasi ditempatkan di atas rivalitas politik dan luka sejarah.
“Indonesia adalah negara damai. Kita tidak boleh mewariskan dendam antar generasi hanya karena perbedaan pandangan sejarah antar elite. Sudah saatnya kita mengambil pelajaran dari masa lalu dan melangkah bersama membangun masa depan,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya peran partai politik dalam menjaga semangat persatuan dan perdamaian, bukan memperlebar jarak perbedaan.
“Kami percaya tidak ada partai yang mengajarkan kebencian. Semua partai membawa visi persatuan dan kebaikan bagi bangsa. Karena itu, elite politik harus menunjukkan kedewasaan dengan mengedepankan narasi rekonsiliasi, bukan trauma masa lalu,” tuturnya.
Azizil menutup pernyataannya dengan menyerukan agar perdebatan tentang gelar pahlawan nasional dijadikan momentum memperkuat konsensus kebangsaan.
“Mari kita jaga semangat Bhinneka Tunggal Ika dengan arif dan proporsional. Menghormati jasa setiap pemimpin berarti menjaga warisan bangsa agar tetap utuh, tidak terpecah oleh perbedaan sejarah maupun politik dan penganugerahan ini jadi momentum kebangsaan,” pungkasnya.
Sumber: